Latest News

Menakar Fitnah Atas Quraish Shihab (Oleh: Ust. Dr. Miftah El-Banjary, Ma)

MENAKAR FITNAH ATAS QURAISH SHIHAB

Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary, MA

Iqra! Bacalah! Demikian pesan wahyu ilahiyyah yg pertama kali turun pada Nabi Muhamamad shallallahu alaihi wassalam. Pesan ini juga merupakan tuntunan bagi umat kiamat untuk menyikapi hal-hal yg belum terang benderang kebenarannya.


Kita diperintahkan untuk membaca terlebih dahulu, mengamati, mencermati, merenungi, memahami, gres kemudian mendengar, kemudian memutuskan, bersikap, dan terakhir barulah mengucapkan.

Ucapan itu pun Musti proporsional, terukur dan terarah, sehingga tutur kata kita tak "laghaa" (omong kosong), apalagi hingga terjebak pada ghibah dan fitnah yg sangat membahayakan. Nauzubillah.

Tulisan saya kali ini, “Menakar Fitnah Atas Quraish Shihab” semata saya tuliskan atas dasar pemahaman dan evaluasi obyektif atas sosok seorang Quraish Shihab. Saya menggumi sosok mufasir sekaligus pemikir hebat ini berdasarkan dari berkenalan dengan karya-karya dia semenjak 15 tahun yg lalu.

Saya perlu meluruskan perihal tudingan terhadap Quraish Shihab yg dirasa kurang tepat dan tidak berdasar hanya karna “ketidaktepatan redaksional” yg dia sampaikan perihal hadits Rasulullah bahwa “Seseorang Tidak Masuk Surga, Melainkan dengan rahmat Allah”, semoga kita bisa mendudukkan dilema tersebut setrik proporsional dan adil.

Terlepas dari aneka macam kelebihan dan kekurangan Quraish Shihab sebagai insan biasa, gimana pun dalam hal menilai pemikiran seseorang kita Musti berdasarkan penglihatan dan pendalaman ilmu pengetahuan, bukan atas dasar prasangka, apalagi hanya sekedar ikut-ikutan.

“Janganlah dikarenakan kebencianmu, pada satu kaum membuatmu bersikap tidak adil!” Demikian pesan al-Qur’an.

Ada baiknya sebelum kita mengkaji pemikiran seorang Quraish Shihab kita kenali terlebih dahulu sosoknya lebih dekat.

Nama lengkapnya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab. Beliau seorang Guru Besar Tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Beliau lahir di Rappang Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, dari keluarga keturunan Habaib bermarga Syihab; yg masih merupakan keluarga besar Ahlu Bait Rasulullah Saw.

Berbekal pengetahuan, pemahaman dan pengalaman agama yg ditanamkan kedua orangtuanya, Quraish Shihab mengawali pengembaraannya dalam menuntut ilmu.

Bagaimana soal pendidikannya?

Pendidikan dasarnya diselesaikan di Makassar dan dilanjutkan pada jenjang menengahnya di kota Malang, Jawa Timur sambil nyantri di Pesantren Dar Hadits al-Fiqhiyyah, namun sebelum menuntaskan studinya pada jenjang tersebut, pada tahun 1958 bertepatan pada usia 14 tahun, ia berangkat ke Cairo Mesir untuk melanjutkan studi di al-Azhar Cairo Mesir. Disana ia diterima di kelas dua Idadi (setingkat SLTP).

Pada tahun 1967, ia berhasil meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits dari Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan jejang Magister pada Fakultas yg sama, dan pada tahun 1969 ia berhasil meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an dengan Thesis berjudul ”Al-I’jaz al-Tasryri’I li al-Qur’an al-Karim”.

Sekembalinya ke Ujung Pandang Saat itu, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Selain itu, dia diserahi jabatan-jabatan lain, di dalam maupun luar kampus. Selama disana dia juga aktif melaksanakan aneka macam kegiatan penelitian ilmiah.

Pada tahun 1980, Quraish Shihab, kembali melanjutkan pendidikan Strata (S-3) di Universitas al-Azhar dengan judul desertasi “Nazhm ad-Durâr li al-Biqâi; Tahqiq wa Dirâsah” dan berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an.

Prestasinya luar biasa, nilai simpulan aktivitas doktoral dengan nilai Yudisium “Summa Cum Laude” dengan penghargaan tingkat I “Mumtaz Ma’a Martabat al-Syaraf al-Ula”; sebuah peringkat paling prestise di Universitas paling kuat di dunia Islam itu serta peringkat paling tinggi yg pernah dicapai oleh seorang putra bangsa.  

Perlu diketahui, bahwa lulusan doktor dari Universitas al-Azhar bukanlah semudah yg dibayangkan. Ketentuan masu untuk bisa menuntaskan aktivitas doktor Saat itu, haruslah bisa menghapalkan al-Qur’an setrik sempurna. Lebih-lebih dengan pencapaian yg sungguh sangat luar biasa itu kita Musti mengakui bahwa dia yaitu tokoh cendekiawan muslim yg patut dibanggakan bangsa ini.

Apa saja karya Ilmiah Quraish Shihab?

Muhammad Quraish Shihab semenjak kecil telah mempelajari al-Qur’an, bahkan telah menghapalnya di luar kepala. Ketertarikan dia terhadap al-Qur’an sudah mulai tampak terlihat semenjak masih di pondok Pesantren Malang Jawa Timur.

Sejak itu, dia telah aktif mengkaji al-Qur’an selama puluhan tahun, bahkan ia berusaha meneruskan metode yg diperkenalkan oleh ayahnya; Abdurrahman Shihab; sebagai seorang ulama besar di zamannya.

Kemampuannya yg mumpuni dalam pemahaman al-Qur’an menempatkan dia pada posisi sebagai sebagai seorang Mufassir al-Qur’an Kontemporer yg sekarang telah dikenal, baik di dalam maupun luar negeri. Beliau juga aktif dalam karier karya tulis ilmiah, baik di dunia kampus maupun di media massa.

Tercatat tidak kurang 60 buah buku dan ratusan Maknakel di surat kabar, majalah, jurnal yg tersebar di koran, majalah dan media massa lainnya. Beliau juga aktif menulis, isu-isu mutakhir yg terjadi di Indonesia. Dengan adanya karya-karya tulis yg ia publikasikan, pada tahun 2009 dia mendapatkan penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award; sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2009.

Diantaranya karya-karya beliau: (1) Tafsir al-Misbah (15 Volume) (2) Membumikan al-Qur’an (3) Wawasan al-Qur’an (4) Menabur Pesan Ilahi (6) Tafsir al-Qur’an al-Kariem (7) Mahkota Tuntunan Ilahi (8) Filsafah Hukum Islam (9) Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan Kelemahannya (10) Hidangan Ilahi (11) Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (12) M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman (13) Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (14) Kaidah-Kaida Tafsir (15) Mempelai al-Qur’an. Dll.

Karyanya yg paling terkenal yaitu Tafsir al-Mishbah yg merupakan sebuah karya luar biasa yg pernah ada, karna pemikiran tafsirnya yg unik menggabungkan 3 metode penafsiran sekaligus, yaitu Manhaj Tahlili (metode analisa) sekaligus Manhaj Muqarin (metode komparasi), Manhaj Maudhu’i (metode tematik) melalui pendekatan linguistik yg mendalam, kompherehensif, dan memperlihatkan pemahaman mendalam si penulisnya terhadap isi kandungan al-Qur’an itu sendiri.

Dari biografi diatas, kita sanggup mengambil kesimpulan bahwa sosok seorang Quraish Shihab bukanlah orang sembarangan tentunya.

Apakah Nabi Tidak Ada Jaminan Masuk Surga?

Polemik yg berkembang muncul bermula dari ucapan Pak Quraish Shihab pada kajian rutian tafsir al-Mishbah di Metro TV. Saat dia menjelaskan sebuah hadits perihal “Seseorang Tidaklah Masuk Surga, Melainkan dengan Rahmat Allah.”

Lebih lengkapnya saya bakal paparkan redaksi haditsnya di sini.

Rasulullah saw bersabda:

سددوا وقاربوا وأبشروا؛ لا یدخل أحداً الجنة عمله، قالوا: ولا أنت یا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن یغتمدنی الله بمغفرة ورحمة (رواه البخاری)

“Perbaiki, dekatkan, dan beritakan kegembiraan, tidaklah seseorang masuk nirwana dengan amalnya. (Para sahabat bertanya) “Demikian pula engkau wahai Rasulullah (tidak masuk dengan amalmu)?” dia menjawab, “Ya tidak pula saya masuk nirwana dengan amalku, melainkan saya pun diliputi oleh keampunan dan rahmat Allah.” [HR. Bukhari No. 6467]

Hadits ini merupakan hadits yg menempati derajat shahih yg tinggi dan tidak diragukan keshahihannya. Hadits ini bukan hadits perihal akidah, melainkan hadits yg mengandung pesan dan motivasi untuk ulet bederma kebaikan. Hadits ini pula dimasukkan oleh Imam Bukhari pada cuilan “al-Mudawamah 'ala al-'amal" atau "Motivasi semoga Konsisten Beramal”.

Hadits ini bukan sebagai sebuah penafian bahwa Rasulullah tidak mendapatkan jaminan surga. Hadits ini mengandung pesan bahwa amal kebaikan bukanlah satu-satunya penjamin surga, karna nirwana dan kemampuan bederma itu juga tak terlepas dari rahmat Allah Swt.

Seharusnya bersyukur atas rahmat Allah itu lebih diutamakan daripada menonjolkan kemampuan diri sendiri yg sejatinya tak berdaya berbuat apa-apa, kecuali atas pertolongan dan dukungan Allah Swt.

Hadits tersebut diatas intinya yaitu motivasi untuk bederma lebih ulet lagi. Demikian pesan yg dikandungnya:

“Bersungguh-sungguh bederma kebaikan. setelah itu, janganlah memandang amal kebaikan itu sebagai usahamu sendiri. Pandanglah nikmat Allah yg Mahabesar dan tak terhingga itu. Sehingga hatimu menjadi ikhlas. Sekiranya kau dimasukkan ke dalam surga, itu pun tak terlepas dari rahmat Allah. Kaprikornus masuknya surgamu, bukan dari amalmu, melainkan dari rahmat Tuhan-mu!”

Hadits yg menyatakan bahwa amal seseorang tidaklah menjamin surga, melainkan dengan rahmat Allah, hal ini dikuatkan dengan hadits yg diriwayatkan oleh Jabir ra yg terdapat ada Kitab Mustadrak Imam al-Hakim pada nomor hadits 356 Juz 5. Demikian kisahnya:

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada seorang abid andal ibadah yg beribadah lebih dari 500 tahun. Di sebuah pulau, Allah karuniakan rezeki berupa buah delima dan air segar yg memancar, sehingga dia tidak perlu bersusah payah untuk bekerja. Dia pun meminta meninggal dalam keadaan sujud. Kemudian, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan sang abid ke dalam nirwana dengan rahmat-Nya. “Masukkan hambaku ini dengan rahmat-Ku!”

Alih-alih bersyukur, si abid malah protes. Dia meminta Tuhan memasukkan dirinya dengan amal kebaikannya selama di dunia. Allah pun menyuruh malaikat menimbang amalnya dengan satu nikmat sebiji mata saja.

Tak ayal, ibadah 500 tahun itu belum bisa mengungguli nikmat karunia sebiji mata saja. Hingga Allah perintahkan untuk memasukkannya ke dalam neraka. Pasalnya amal kebaikannya tidak seberapa. Akhirnya, sang abid meminta ampun dan meminta kembali dimasukkan ke dalam nirwana dengan rahmat Allah.

Lah, jikalau amal kebaikan tidak menjamin seseorang masuk surga, lantas apa perlunya kita beramal?

Perlu dipahami bahwa nirwana itu yaitu nikmat terbesar yg Allah sediakan pada orang-orang beriman yg melaksanakan amal shaleh dengan penuh keikhlasan. Kemampuan bederma shaleh pun juga merupakan karunia serta anugerah dari Allah. Dengan demikian, nirwana bukan semata diperoleh dari kekuatan seseorang bederma shaleh, karna semuanya tak terlepas dari nikmat Allah.

Sekali lagi, Musti dipahami bahwa ungkapan Rasulullah, “Demikian saya pun tidak masuk surga, melainkan dengan rahmat Allah, bukan pula semata amal kebaikan yg ada pada diriku, merupakan sebuah ungkapan balaghah yg sangat tinggi dan memukau sekaligus keluhuran watak si penuturnya.

Pesan ini sekaligus pengajaran kepada umat nabi kiamat semoga mengharapkan rahmat Allah yg mempunyai nirwana seharusnyalah lebih diutamakan dari nirwana itu sendiri. Mengharap kasih sayang si pemberi, lebih baik daripada dari pemberian itu sendiri.

Taruhlah Anda bekerja mengharapkan gaji, boleh jadi selesai Anda bekerja Anda bakal mendapatkan hak Anda. Namun, jikalau Anda bekerja untuk mendapatkan hati orang yg memberi Anda gaji, bisa jadi Anda bukan saja mendapatkan gaji, bahkan lebih dari itu, Anda sanggup mendapatkan kedudukan yg lebih tinggi, kemudahan yg lebih banyak, bahkan honor yg terus meningkat.

Amal ibadah hanyalah wasilah atau jalan mendekatkan seorang hamba pada rahmat Allah yg Mahaluas itu. Jika amal ibadah hanya dipahami sebatas interaksi transaksional, maka apa Perbedaan dengan membeli nirwana dengan ibadah? Bagaimana mungkin kita bisa membeli kenikmatan nirwana dengan amal kebaikan, sedangkan kemampuan itu juga tak terlepas dari nikmat yg Allah karuniakan pada kita?

Oleh karna itulah, ungkapan redaksional Rasulullah pun sangat sastrawi dan diplomatis. “Aku pun tidak masuk dengan amalku, melainkan atas dasar rahmat dan kasih sayang Allah padaku!” Demikian ungkapan ini tidaklah muncul melainkan dari seseorang nabi yg penuh dengan ketawadhuan serta kerendahan diri.

Bagaimana mungkin Rasulullah tidak mendapatkan jaminan surga, sedangkan Allah ciptakan surga, karna kecintaan Allah yg sedemikian besar pada kekasih-Nya itu?

Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah yaitu orang yg pertama kali memasuki nirwana sebelum para nabi dan rasul lainnya. Dan umatnya pun diberikan prioritas memasuki nirwana lebih dahulu, ketimbang umat-umat para nabi yg lain. Jangankan Rasulullah, umatnya saja diberikan jaminan surga. “Kalian semua niscaya masuk surga, melainkan mereka yg enggan!”

Namun ungkapan redaksi hadits diatas bakal tidak sama hasilnya bila terjadi tahrif (upaya penyimpangan) atau dipahami setrik sepotong-sepotong. Bukan lagi sekedar memunculkan konotasi negatif, bila dipahami setrik parsial tak bakal menutup kemungkinan bakal berpotensi memunculkan Keliru kaprah, bahkan mengakibatkan fitnah dan polemik tak berkesudahan.

Kasus inilah yg menimpa tudingan fitnah terhadap Prof. Quraish Shihab yg memaparkan hadits yg sama. Namun, statement itu terpotong atau memang sengaja dipotong untuk kepentingan tertentu demi mendeskreditkan seorang ulama. Saya hanya berprasangka baik bahwa apa yg dia maksudkan baik apa adanya. Boleh jadi hanya redaksinya yg kurang tepat atau memang tidak berusaha dipahami setrik tepat.

Taruhlah seorang raja berkata, “Saya tidak izinkan seorang pun memasuki istana!” Ungkapan ini yaitu ungkapan universal, termasuk sang raja tersebut. Namun, bila ada pengecualian, maka ada yg diperbolehkan. Misalnya, “Saya tidak izinkan seorang pun memasuki istana, melainkan orang yg saya undang saja.” Maka pengeculian disana merupakan satu kekhususan bagi permintaan saja.

Oleh karna itulah, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “Al-Istisna” yg berMakna pengecualian, bukan bermakna penafian. Dengan demikian redaksi haditsnya “Saya tidak masuk nirwana dengan amal kebaikan, melainkan dengan rahmat Allah!” Musti dipahami bahwa amal kebaikan itulah yaitu Keliru satu jalan menggapai rahmat itu.

Namun, jikalau kemudian dikatakan, “Rasulullah sama sekali tidak mendapatkan jaminan surga, tentu hal tersebut bakal keliru dan berimplikasi pemahaman yg lepas dari konteks kandungan pesan di hadits tersebut diatas.”

Apakah Quraish Shihab Seorang Syiah?

Jika kita membaca sejarah para tokoh ulama besar, kita bakal mendapati bahwa banyak para ulama yg mendapatkan tantangan dakwah berupa kecaman, hinaan, bahkan fitnahan. Tudingan sebagai seorang penganut syiah, contohnya, pernah menimpa Imam Mujtahid Mutlaq al-Imam as-Syafie di tengah gejolak politik Saat itu.

Rafidhi atau Rafidhah merupakan kelompok syiah ekstrim yg ditenggarai sebagai satu kelompok yg mengancam kekhalifahan kaum Abbasyiah. Imam Syafie tertuduh sebagai seorang syiah, hanya karna bergaul dengan orang-orang Thalibin yg sangat mengagumi sosok Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Khalifah Harun al-Rasyid pun hampir saja menjatuhi dia eksekusi berat terhadap beliau.

Pada sebuah syairnya, dia membantah tuduhan keji itu. “Sekiranya dikarenakan kecintaanku yg sangat besar terhadap andal bait nabi, saya dikatakan seorang rafidhi, maka saksikanlah akulah seorang rafidhi.”

Sama halnya tuduhan sebagai seorang pengikut Syiah terhadap Prof. Quraish Shihab ditenggarai dari terbitnya buku dia “Sunni-Syiah; Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”

Bagi sebagian orang boleh jadi dengan terbitnya pemikiran komparatif antara konsep aliran dan pemikiran Sunni-Syiah yaitu Keliru satu bukti kecenderungan pembelaan seorang sosok Quraish Shihab terhadap konsep pemikiran Syiah.

Padahal jikalau kita bisa melihat lebih objektif lagi -paling tidak membaca terlebih dahulu buku tersebut, sebelum memvonis dan terjebak pada tampilan ckelewat / over dan judul- kita bakal mendapati citra bahwa konsep pemikiran tersebut tak lebih dari sekedar kajian ilmiah yg mendudukkan sebuah dilema konflik ideologis dalam tinjauan dan pendekatan akademis.

Menyamakan konsep Sunni-Syiah hal yg mustahil, layaknya menyatukan air dan minyak, namun mencari titik persamaannya juga sebagai sebuah pemahaman pada tataran fiqhiyyah, juga bukan sesuatu yg dilarang, apalagi tercela.

Upaya-upaya pendekatan yg ditawarkan oleh kelompok Sunni terhadap kelompok Syiah dalam rangka mengakhiri konflik berkepanjangan, khususnya di beberapa negara Timur Tengah yg bersinggungan langsung, mirip Irak-Iran dipandang sebagai Keliru satu solusi diplomatis-akademis yg diharapkan tidak semakin memperuncing ukiran konflik antara kedua kelompok tersebut.

Quraish Shihab; sebagai seorang tokoh Sunni yg moderat barangkali melaksanakan hal sama yg juga pernah dilakukan oleh guru beliau: Syekh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud; seorang Grand Syekh al-Azhar yg berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah yg dikenal sebagai Imam al-Ghzali kala XX (w.1978) yg juga melaksanakan upaya pendekatan dengan kelompok Syiah dengan karya-karya beliau.

Pendekatan ini bukan berMakna mengaminkan konsep pemikiran mereka, namun mereka berupaya untuk membangun hubungan serasi semoga sanggup menimalisir ukiran dan benturan peradaban yg sangat berpotensi pada konflik kemanusiaan atas nama agama yg tak berkesudahan.

Memang pendekatan ini kurang terkenal di tengah kalangan para ulama klasik, lebih-lebih di kalangan orang awam yg sangat fanatik dan ekstrimis yg bisa-bisa bakal membabi buta menuding kesongkokolan mereka terhadap kelompok syiah itu.

Terlepas bahwa ada saja kritikan di sana sini, bahkan konsep yg sangat kontradiktif yg tidak bisa diterima begitu saja. Apalagi dampaknya yg bisa terkesan ada pembenaran terhadap konsep yg selama ini dianggap berseberangan dengan konsep pemahaman Sunni, paling tidak karya semacam itu masih tetap dibutuhkan dalam membangun sebuah obrolan peradaban antar mazhab dan pemikiran dalam Islam.

Sependek pembacaan saya terhadap karya tafsir Quraish Shihab; Tafsir al-Misbah dan karya lainnya, saya tidak pernah menemukan konsep pemikiran syiah di dalamnya. Jika dia seorang berpaham Syiah, tentu tidak bakal bisa disembunyikan dalam konsep pemikirannya atau kecenderungan corak penafsirannya.

Ya, memang dia banyak mengutip pendapat At-Thabathaiy yg ditenggarai seorang mufasir yg berpaham aliran syiah, namun sepanjang klarifikasi yg bersifat umum saja dan hanya sekedar perbandingan komparatif dengan alur konsep metode ilmiah serta sudut pandang kritis saja, saya pikir sah-sah saja dalam dunia dunia ilmiah.

Menjadi sangat tidak adil sekiranya seorang mufassir sebagai seorang ilmuwan tidak boleh sama sekali mengutip pendapat atau terlarang membandingkan pemikiran dengan orang yg dianggap berseberangan dengan paham atau mazhabnya. Bukankah Islam melarang umat ini untuk bersikap taqlid buta?

Bukankah telah menjadi sebuah tradisi para ulama-ulama dahulu, bahkan ada diantara kalangan para sahabat yg bertanya pada andal Kitab (Yahudi dan Nasrani) terkait satu atau dua ayat al-Qur’an yg menyangkut sejarah contohnya; tak lebih dari sebagai perbandingan saja.

Oleh karna itulah, tak sanggup dipungkiri pada kitab-kitab klasik mirip sebut saja Ibnu Katsir terdapat kisah-kisah Israeiliyat; dikarenakan periwayatan dari Ka’ab al-Akhbar; spesialis kitab yg memeluk Islam. Hal tersebut bukan tercela, apalagi ada tudingan si mufasir telah menjadi Yahudi atau Nasrani; hanya karna ada perbandingan pendapat dari kalangan para pemuka andal Kitab, bukan?

Demikian pula, kutipan pendapat dari At-Thabathaiy; seorang pengarang tafsir al-Mizan itu, banyak mengatakan pemikiran yg modern dan daya kritis terhadap pemahaman tafsir klasik. Hal inilah yg mungkin sangat menarik bagi Prof. Quraish Shihab untuk menampilkan pendapatnya dalam rangka perbandingan pendapat sesuai dengan metode yg dia kembangkan pada tafsir al-Misbah, yaitu motede penafsiran muqaranah/komparatif.

Apakah selain pendapat at-Thabathaiy juga ada pendapat ulama mufasir sunni? Tentu saja jauh lebih banyak. Namun, orang yg sudah terlanjur kadung dengan tuduhan yg tidak obyektif hanya melihat yg sedikit, menafikan kebenaran dibaliknya. Atau jangan-jangan penudingnya tidak pernah sama sekali membaca karyanya?!! Boleh jadi!

Quraish Shihab Tidak Mewajibkan Jilbab?

Sampai Saat ini saya hanya gres "Mendengar Katanya" Bapak Prof. Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab.

Tapi sayangnya, hingga hingga Saat ini pula saya belum pernah membaca satu potong kalimat pun dari sekian banyak karya dia yg memperlihatkan hal perihal tuduhan itu atau ada satu kajian khusus dia dalam bentuk ceramah yg mengulas ketidakwajiban jilbab.

Jika memang ada bukti kebenaran itu, mohon diberitahukan kepada saya sumbernya. Jujur, saya tidak berani membenarkan atau menyalahkan tanpa saya sendiri pernah tahu kebenaran itu.

Memang Musti dipahami terlebih dahulu defenisi "Jilbab" dalam pengertian bahasa syari'i dan "Jilbab" dalam bahasa "Adat" bahasa Indonesia.

"Jalabib" atau bentuk jamak dari Jilbab dalam bahasa Syar'i menutup seluruh tubuh, kecuali mata. Lebih tepatnya, hijab atau cadar.

Sedangkan "Jilbab" dalam pemahaman adat bahasa Indonesia cuma sebatas sepotong kain yg menutup kepala hingga dada. Diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangan. Lebih tepatnya kita sebut dgn istilah lain yaitu kerudung.

Nah, pengertian Jilbab setrik syarie masih dalam perbedaan pendapat para ulama ttg batasan. Apakah Musti/harus mengenakan jilbab berupa hijab atau khumar atau tidak?

Namun dalam pengertian menutup aurat kepala hingga dada yg merupakan batasan aurat Musti/harus para ulama tentu tidak tidak sama pendapat ttg kewajibannya.

Kaprikornus "Jilbab" yg katanya tidak wajjb berdasarkan Pak Habib Quraish Shihab itu Musti kita dudukkan kembali apakah dia membitrikkan "Jalabib" dalam konteks hijab/cadar setrik syarie ataukah Jilbab dlm konteks kerudung?

Saya yakin pendapat dia tidak pernah menyimpang, karna setrik keilmuan telah dia bangkit setrik sistematis dengan pondasi yg kukuh dan valid. Nanti kita baca lagi tafsir al-Misbah perihal kewajiban perintah Jilbab pada para istri nabi dalam konteks hijab semoga tak terlalu panjang pembahasannya.

Jika Pak Quraish tidak mewajibkan jilbab/kerudung atas dirinya itu saya sepakat. Saya pun demikian, tidak Musti/harus jilbab itu bagi saya, karna saya kaum lelaki tidak Musti/harus berjilbab hehe..

Menakar Fatwa Quraish Shihab

Kelebihan seseorang tidak bakal menafikan kekurangannya. Seseorang yg pintar di satu bidang, boleh jadi kurang pintar pada bidang yg lain. Seseorang yg mengetahui satu bidang setrik mendetail, bisa jadi tidak mengetahui segala sesuatu setrik meluas.

Demikan pula, saya melihat Pak Quraish Shihab yaitu seorang mufasir, tentu dia bukan seorang fuqaha di bidang fiqih atau seorang teolog. Barangkali dia mempunyai sudut pandang tidak sama pemahaman dengan para fuqaha dalam beberapa fatwa berdasarkan ijtihad beliau. Hal itu sah-sah saja, karna dia mempunyai kemampuan berijtihad.

Seorang mujtahid yg telah mumpuni berijtihad bakal mendapatkan dua kali pahala jikalau ijtihadnya benar dan bakal tetap mendapatkan satu kali pahala jikalau ijtihadnya keliru. Demikian dinyatakan oleh hadits nabi serta kaidah yg sudah sangat terkenal di kalangan para andal ushul fiqh. Tentu kelayakan berijtihad ini Musti memenuhi aneka macam macam persyarat keilmuan dan kriteria yg tidak simpel dan simpel bagi orang awam.

Tinggal lagi, bagi orang awam mempunyai pilihan-pilihan untuk mengikuti yg mana sesuai dengan jumhur lebih banyak didominasi ulama di bidangnya.

Terakhir, kiprah kita yaitu berusaha meletakkan para ulama pada porsi dan keahliaan mereka masing-masing. Iya, kita Musti tetap bersikap kritis. Namun, tanpa Musti meninggalkan perilaku tata krama, adab, dan kesopan-santunan kepada para ulama. Lebih-lebih lagi, tanpa pengetahuan ikut-ikutan memojokkan, menghina hingga memfitnah para ulama itu tentu bukan perilaku seorang muslim sejati.

Lebih-lebih lagi, pada zaman serba-fitnah ini, tentu kita Musti lebih banyak membaca ketimbang mendengar isu-isu yg masih belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika fitnah itu menyangkut para ulama lebih mengerikan lagi dampaknya.

Segimana yg dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, “Takutilah fitnah terhadap ulama, sebetulnya daging mereka beracun!”

Ulama memang bukanlah insan suci, mereka insan biasa mirip kita, mereka terkadang lupa, Keliru, keliru, bahkan cacat.  Namun dibandingkan kita orang-orang awam, tentu saja Musti diakui bahwa Allah telah menentukan mereka sebagai andal ilm yg terdapat banyak nash al-Qur’an dan Hadits Allah memuliakan ilmu serta andal ilmu. Soal nanti beban tanggung jawab amanah ilmu tersebut bakal menjadi urusan setiap orang dihadapan Allah Swt.

Wallahu ‘alam.

Re-post dari FB https://www.facebook.com/miftahurrahman.elbanjary


0 Response to "Menakar Fitnah Atas Quraish Shihab (Oleh: Ust. Dr. Miftah El-Banjary, Ma)"